Ponorogo, iniberita.my.id – Pemandangan mengharukan dan penuh risiko terjadi di Desa Wates, Kecamatan Slahung, Kabupaten Ponorogo. Warga desa terpaksa menyeberangi sungai selebar 20 meter sambil menggotong keranda jenazah menuju tempat pemakaman umum (TPU) di Desa Tugurejo yang terletak di seberang sungai.
Fenomena ini menjadi viral karena menyoroti betapa peliknya akses pemakaman yang dihadapi warga Wates. Mereka harus melalui jalur berbahaya hanya karena tidak memiliki lahan pemakaman sendiri, dan satu-satunya jalan menuju jembatan dipersulit oleh penolakan satu keluarga yang tak mengizinkan tanahnya dilalui jenazah.
"Sudah pernah kejadian, jenazah terlepas dari keranda dan hanyut saat disebrangkan. Itu menjadi pengalaman traumatis bagi kami," ungkap Kepala Desa Tugurejo, Siswanto, Minggu (20/4).
Warga tetap bertahan pada pilihan menyeberangi sungai meski sadar akan risiko besar, termasuk terpeleset di bebatuan licin atau terbawa arus sungai, apalagi saat debit air meningkat karena hujan.
"Kalau sungai banjir, ya harus tunggu airnya surut. Sementara jenazah tidak bisa terlalu lama disimpan. Di situlah kami benar-benar sedih dan cemas," cerita Tri Utami, salah satu warga Desa Wates.
Menurut Siswanto, upaya mediasi sudah dilakukan berkali-kali oleh pemerintah desa Wates dan Tugurejo, namun belum membuahkan hasil. Penolakan dari pemilik lahan yang menolak jenazah melintas tetap tidak berubah, dengan alasan kepercayaan adat Jawa yang menganggap tanah akan "kotor" bila dilalui jenazah.
"Kami sudah mencoba pendekatan dari sisi budaya, sosial, bahkan kemanusiaan. Namun keluarga itu tetap bersikeras tidak mengizinkan. Mereka percaya tanahnya bisa 'kena sial' jika dilewati jenazah," lanjut Siswanto.
Ironisnya, warga sebenarnya sudah membangun jembatan secara swadaya untuk mempermudah akses. Namun jembatan tersebut tidak bisa dimanfaatkan secara optimal karena akses jalannya harus melewati pekarangan keluarga tersebut.
Kondisi ini menyisakan keprihatinan mendalam. Ketika di era modern sebagian masyarakat telah menikmati infrastruktur memadai, warga Desa Wates justru masih harus berjuang menyeberangi sungai demi memberi penghormatan terakhir bagi orang tercinta.
Cerita ini menjadi potret nyata bagaimana konflik kepemilikan lahan, kepercayaan adat, dan kurangnya fasilitas publik dapat berdampak besar terhadap kehidupan—bahkan kematian—di masyarakat pedesaan.(Red.R)
0 Comments:
Post a Comment