Lahan Kritis Kian Meluas, Para Ahli Tekankan Pentingnya Kesadaran dan Rehabilitasi Alam

  


KEDIRI, iniberita.my.id – Permasalahan lahan kritis di wilayah Kediri dan sekitarnya menjadi perhatian serius berbagai kalangan. Berbagai pihak menilai bahwa penanganan masalah ini tidak cukup hanya mengandalkan program pemerintah, tetapi juga butuh kesadaran kolektif dari masyarakat luas.

Pengamat lingkungan, Endang Pertiwi, menekankan bahwa upaya pemulihan lingkungan tak akan berhasil tanpa adanya partisipasi aktif dari seluruh elemen masyarakat.

"Kesadaran individu menjadi fondasi utama. Jika setiap warga peka terhadap lingkungannya, maka kebijakan dan program yang ada bisa berjalan lebih maksimal," ujar perempuan asal Kelurahan Bujel, Mojoroto, Kota Kediri itu.

Endang juga menyebut pentingnya edukasi dan sosialisasi berkelanjutan agar masyarakat semakin memahami dampak dari kerusakan lingkungan, termasuk akibat alih fungsi lahan secara masif.

Menurutnya, banyak lahan yang berubah menjadi kawasan permukiman atau bangunan komersial, sehingga tidak lagi bisa dimanfaatkan untuk kegiatan penghijauan. “Kalau sudah berdiri bangunan, otomatis tidak bisa ditanami lagi. Maka dibutuhkan kompensasi lahan lain untuk menyerap air dan mendukung ekosistem,” tambahnya.

Ia juga menyoroti lemahnya penegakan aturan terkait zonasi hijau. “Peraturannya ada, tapi implementasinya lemah. Diperlukan regulasi yang lebih tegas dan benar-benar dijalankan,” tegasnya.

Endang menggambarkan lahan kritis sebagai kawasan yang kehilangan fungsi ekologisnya. Vegetasi hilang, tanah menjadi gersang, dan sumber air mengering. Menurutnya, faktor perubahan iklim juga memperburuk kondisi, karena pohon-pohon sulit bertahan di suhu yang ekstrem.

Senada, Koordinator Penyuluh Kehutanan CDK Kediri, Pancadani Okto, menyatakan bahwa lahan kritis memiliki dampak serius, mulai dari meningkatnya risiko bencana alam seperti longsor dan banjir, hingga penurunan kesuburan lahan pertanian.

“Tanpa pohon, air hujan langsung menghantam permukaan tanah. Akibatnya, air tidak bisa diserap dengan baik dan mengalir ke daerah yang lebih rendah. Inilah yang memicu erosi dan banjir,” paparnya.

Namun, menurut Pancadani, solusi tidak bisa dilakukan secara otoriter. Mengingat masyarakat banyak yang menggantungkan hidup dari lahan tersebut, pendekatan persuasif dinilai lebih efektif.

“Kami terus melakukan penyuluhan di tiap kecamatan. Kami juga menyalurkan bibit tanaman yang bermanfaat secara ekonomi maupun ekologi, seperti mangga dan alpukat, agar masyarakat tetap bisa memanfaatkan lahan secara bijak,” ujarnya.

Untuk daerah resapan dan sekitar sumber air, pihaknya memilih menanam pohon jenis ficus yang dikenal mampu menyimpan air dalam tanah secara maksimal.

Sementara itu, pihak Perum Perhutani KPH Kediri juga turut berupaya menekan kerusakan lingkungan. Humas KPH Kediri, Sutoyo, menyebut pembangunan terasering menjadi salah satu metode yang efektif untuk mengatasi erosi di daerah lereng.

“Dengan adanya terasering, tanah tidak langsung terbawa arus air hujan. Nutrisi tanah tetap terjaga dan bisa mengurangi risiko bencana longsor,” ujarnya.

Selain itu, program reboisasi atau penghijauan terus digencarkan sebagai bagian dari pemulihan lingkungan. Sutoyo menegaskan bahwa upaya ini bukan hanya soal menanam pohon, tapi juga menjaga keberlanjutannya agar benar-benar tumbuh dan berfungsi ekologis.(Red.R)

0 Comments:

Post a Comment