Kenaikan PPN 12% Tahun 2025 Tuai Kontroversi, Pemerintah Diminta Tinjau Ulang

   

 Jakarta, iniberita.my.id - Kebijakan pemerintah menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% mulai 1 Januari 2025 memicu gelombang penolakan dari berbagai kalangan masyarakat. Hampir 200 ribu tanda tangan terkumpul dalam petisi yang menyerukan pembatalan kebijakan tersebut.

Kenaikan PPN yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) dianggap membebani masyarakat, terutama kalangan menengah ke bawah. Berbagai pihak, termasuk akademisi, ekonom, dan mantan pejabat pajak, menyarankan pemerintah untuk meninjau ulang kebijakan ini.

Gelombang Kritik terhadap Kenaikan PPN

Direktur Hukum Center of Economic and Law Studies (Celios), Mhd Zakiul Fikri, menyarankan pemerintah mengevaluasi kebijakan tersebut. Ia mengusulkan penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk membatalkan kenaikan tarif PPN.

"Prabowo Subianto sebagai Presiden harus berani mengambil langkah tegas dengan menerbitkan Perppu untuk membatalkan kenaikan ini demi melindungi masyarakat kecil dan kalangan menengah yang terdampak," kata Zakiul, Rabu (25/12/2024).

Zakiul juga menyoroti potensi dampak buruk kenaikan PPN, seperti meningkatnya inflasi, menurunnya daya beli masyarakat, serta tertekannya sektor usaha kecil dan menengah (UMKM).

Pendapat Mantan Dirjen Pajak

Senada dengan Zakiul, mantan Direktur Jenderal Pajak Hadi Poernomo juga mendesak pemerintah untuk membatalkan kenaikan PPN. Menurutnya, kenaikan tarif ini tidak sejalan dengan perlindungan terhadap daya beli rakyat kecil dan justru memperburuk ketimpangan ekonomi.

"Kebijakan ini terlalu mengandalkan PPN sebagai sumber penerimaan negara, yang ujung-ujungnya membebani masyarakat kecil," ujar Hadi dalam keterangan tertulis, Senin (2/12/2024).

Ia menyarankan agar tarif PPN dikembalikan ke 10% melalui Perppu, seraya menegaskan bahwa kebijakan perpajakan seharusnya mendorong pemerataan ekonomi dan melindungi masyarakat yang rentan secara finansial.

Tantangan dan Alternatif Kebijakan

Zakiul menilai bahwa opsi menunda atau menurunkan tarif PPN melalui revisi UU HPP sulit dilakukan mengingat waktu yang terbatas. Proses pembahasan di DPR membutuhkan waktu lama, sementara DPR saat ini dalam masa reses hingga pertengahan Januari 2025.

Dalam situasi ini, penerbitan Perppu dianggap sebagai langkah paling realistis dan mendesak. "Keadaan mendesak ini harus diatasi segera, mengingat dampak negatif dari kenaikan PPN dapat meluas jika tidak ditangani," tambah Zakiul.

Dorongan pembatalan kenaikan PPN ini menjadi ujian bagi pemerintahan Prabowo Subianto untuk mengambil keputusan strategis yang berpihak pada masyarakat luas. Kebijakan yang diambil akan mencerminkan komitmen pemerintah dalam menjaga keseimbangan ekonomi dan melindungi rakyat dari beban pajak yang semakin berat.(Red.D)

0 Comments:

Post a Comment