Tuku Pangarep-Arep”: Rama Sindhunata dan Mitos Ratu Adil di Tengah Jeritan Wong Cilik

  


KEDIRI,  iniberita.my.id –Suasana sore di Taman Baca Mahanani, Kediri, berubah menjadi ruang refleksi sosial dan kebudayaan saat Rama Sindhunata, budayawan sekaligus imam Jesuit berusia 73 tahun, melantunkan syair jula-juli yang menohok:

“Nek biyen tarik tambang, saiki dum-duman tambang. Tambange negara didum sembarangan, kaya ngedum kacang...”

Lagu rakyat yang diubah liriknya itu membuka acara Sarasehan Perlawanan Wong Cilik & Bayang-bayang Ratu Adil dalam rangkaian Perjamuan Sindhunatan yang digelar pada Rabu (4/6/2025). Acara ini tak hanya jadi ajang penghormatan, tapi juga ruang pemikiran kritis yang menyoroti penderitaan rakyat kecil, eksploitasi politik, serta mitos sebagai bentuk harapan.

Refleksi Sosial Lewat Fragmen Wayang dan Sastra

Sebelum diskusi dimulai, hadirin disuguhi pentas fragmen wayang berjudul “Tuku Pangarep-Arep” oleh dalang cilik Madjid Panjalu. Lakon ini digubah dari pemahaman terhadap karya-karya Rama Sindhu yang sarat kritik sosial, berakar pada budaya Jawa, dan menyuarakan nurani wong cilik.

Dalam penjelasannya, Rama Sindhu mengulas filosofi sederhana dari wong cilik:

“Orang kecil itu hidup dengan harapan. Hari ini dapat Rp 30 ribu, dia berdoa agar besok bisa dapat Rp 35 ribu. Hidup mereka tidak rumit. Mereka membeli harapan karena sandang pangan kadang sulit terbeli.”

Makna "Tuku Pangarep-arep" (membeli harapan) diangkat bukan hanya sebagai tema, tapi realitas sosial yang tak kunjung usai. Harapan rakyat kecil itu, lanjut Rama Sindhu, sering kali dimanfaatkan oleh elit politik yang menyamar sebagai sosok ‘Ratu Adil’.

Ratu Adil: Harapan atau Jebakan Politik?

Rama Sindhu menyebut bahwa mitos Ratu Adil selalu muncul dari rahim penderitaan. Namun sayangnya, mitos ini sering dipelintir oleh elite untuk mendulang suara menjelang pemilu.

“Setiap pemilu selalu ada yang tiba-tiba muncul sebagai ‘penyelamat’. Mereka datang bawa bansos, bawa janji, lalu pergi setelah suara didapat. Wong cilik hanya jadi alat politik.”

Meskipun banyak yang meragukan eksistensinya, bagi rakyat kecil, Ratu Adil bukan figur nyata, melainkan bentuk konsepsi harapan yang tak bisa dibunuh, sekalipun oleh pengkhianatan dan kemiskinan struktural.

Rama Sindhu sendiri melakukan riset langsung ke petilasan Raja Jayabaya di Menang, Kediri, sebagai upaya menghayati denyut kepercayaan wong cilik terhadap kedatangan sosok penyelamat.

Mitos sebagai Strategi Bertahan Wong Cilik

Saat ditanya mengapa mitos masih dipercaya, Rama Sindhu menjawab tegas:

“Masyarakat kecil percaya pada mitos bukan karena bodoh. Tapi karena itu satu-satunya cara mereka bertahan. Mitos bukan ilusi kosong, tetapi siasat hidup.”

Menurutnya, kepekaan terhadap mitologi diperlukan, bukan untuk ditertawakan, tapi dirasionalisasi oleh para intelektual agar bisa membaca pesan tersembunyi yang ada di balik kepercayaan rakyat.

Ia mengingatkan bahwa dalam mitos ada resistensi. Dari Samin hingga Perang Jawa, semua bentuk perlawanan lahir dari mitos tentang keadilan dan kebaikan yang akan datang, meski tak pernah tahu kapan.

“Anak-anak Semar” dan Generasi Perlawanan Baru

Rama Sindhu juga menyoroti geliat anak muda yang turun ke jalan dalam berbagai aksi beberapa waktu lalu. Ia menolak anggapan bahwa generasi muda sekarang apatis.

“Mereka adalah anak-anak Semar. Tubuhnya mungkin tak sekuat tokoh heroik, tapi suaranya tajam, tekadnya kuat. Tempat di mana Semar meragakan dirinya.”

Ia melihat generasi ini sebagai cerminan karakter Semar dalam pewayangan—tubuh tak sempurna, tapi sarat kebijaksanaan dan optimisme.

Suara Keindahan dari Pinggiran

Karya-karya Rama Sindhu seperti Putri Cina, Anak-anak Semar, Menyusu Celeng, dan Bayang-bayang Ratu Adil dibedah di hari pertama acara. Kesemuanya mengangkat suara-suara dari pinggiran, dibalut dalam bahasa indah namun menyentuh luka yang nyata.

“Keindahan itu penting. Kita bisa menyuarakan penderitaan dengan cara yang menyentuh, melalui puisi, parikan, dan sastra. Wong cilik pun punya estetika dalam berjuang,” katanya.

Menjaga Api Semangat Melalui Budaya

Ketua panitia, Ricky, menyampaikan bahwa kegiatan ini bukan sekadar penghormatan terhadap tokoh, tetapi usaha kolektif untuk menjaga semangat perlawanan yang manusiawi.

“Karya Rama Sindhu adalah suara mereka yang sering dilupakan. Lewat acara ini, kami ingin suara-suara itu terus hidup, tidak tenggelam oleh hiruk-pikuk kekuasaan dan zaman.”

Acara yang berlangsung dua hari ini menjadi bukti bahwa kesusastraan dan kebudayaan masih relevan sebagai medium perjuangan dan pendidikan moral.

Penutup Jula-Juli: Sindiran Tajam untuk Kekuasaan

Rama Sindhu menutup sarasehan dengan kembali melantunkan jula-juli yang penuh satire:

“Pagar liar di Teluk Naga, ora ngerti seng masang sapa. Sing kena virus pupupapa, pura-pura ra ngerti opo-opo.”

Tembang penutup itu menjadi semacam gugatan simbolik atas ketidakjelasan arah kekuasaan yang sering bersembunyi di balik retorika, membiarkan rakyat kecil berjuang sendiri.(red.a)

0 Comments:

Post a Comment