JOMBANG, iniberita.my.id – Pemerintah Kabupaten Jombang tengah menyusun Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA), sebagai respons atas tingginya angka kekerasan di wilayah tersebut. Namun, langkah ini dinilai belum optimal oleh sejumlah pihak, salah satunya Aliansi Inklusi Kabupaten Jombang.
Raperda ini muncul di tengah melonjaknya jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Jombang. Berdasarkan data Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) PPA setempat, terdapat 222 kasus yang dilaporkan sepanjang Januari hingga November 2024, naik tajam dibandingkan tahun sebelumnya yang tercatat sebanyak 133 kasus.
Direktur Women Crisis Center (WCC) Jombang, Anak Abdillah, membeberkan bahwa dalam tiga tahun terakhir (2022–2024), tren kekerasan seksual menunjukkan kecenderungan mengkhawatirkan. Dari 148 kasus yang ditangani, sekitar 17 persen atau 26 kasus dilakukan oleh ayah kandung maupun ayah tiri. “Ini menunjukkan bahwa lingkungan keluarga yang seharusnya menjadi tempat aman justru menjadi ruang terjadinya kekerasan,” tegas Ana, Rabu (16/4/2025).
Ana juga menyoroti perlindungan terhadap kelompok perempuan dan anak dengan status HIV positif yang belum diatur secara spesifik dalam draf Raperda. Berdasarkan data KDS JCC Plus per 14 April 2025, terdapat 1.932 warga Jombang yang terkonfirmasi HIV positif, di antaranya 668 perempuan dan 45 anak-anak.
"Kelompok ini sangat rentan, menghadapi beragam tantangan mulai dari stigma sosial, keterbatasan akses layanan kesehatan, hingga risiko kekerasan ganda. Sayangnya, Raperda belum merespons kondisi ini secara menyeluruh," tambahnya.
Aliansi Inklusi juga mengkritisi aspek implementasi dari Raperda ini. Mereka menilai pasal-pasal dalam dokumen tersebut masih terlalu normatif dan belum menyasar akar persoalan yang kerap dihadapi oleh para korban dan pendamping di lapangan.
Beberapa poin yang dikritik antara lain:
Struktur kelembagaan yang belum integratif.
Tidak adanya mekanisme perlindungan saksi dan korban yang kuat.
Fasilitas rumah aman yang belum memenuhi prinsip perlindungan maksimal.
Minimnya pendidikan terkait kesehatan seksual dan reproduksi sebagai upaya preventif.
Sistem perlindungan yang belum menyatu dengan layanan sosial dan kesehatan.
Lemahnya sistem pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan peraturan.
“Proses penyusunan regulasi ini semestinya melibatkan kelompok korban dan komunitas akar rumput yang selama ini berjuang memberikan pendampingan langsung,” tegas Ana.
Sebagai payung hukum, Raperda ini seharusnya mampu menjawab kebutuhan nyata masyarakat dan bukan sekadar pemenuhan formalitas. Aliansi mendesak DPRD dan Pemkab Jombang untuk tidak berhenti pada tataran hukum, tetapi benar-benar merancang kebijakan yang inklusif, berpihak pada korban, dan mampu mengubah realitas sosial yang dihadapi perempuan serta anak di Jombang.
Dengan dukungan semua pihak dan pendekatan berbasis hak korban, diharapkan regulasi ini akan menjadi tonggak perlindungan yang kuat dan berkelanjutan, bukan hanya janji tanpa implementasi.(Red.R)
0 Comments:
Post a Comment