20 Tahun Menorehkan Goresan: Santoso, Seniman Sketsa Otodidak yang Tak Kenal Lelah Belajar

  


  iniberita.my.id-Bagi Santoso, proses belajar tak mengenal usia maupun akhir. Pria yang dikenal sebagai perupa sketsa ini terus berupaya menyempurnakan kualitas karyanya, bahkan dari kritik dan masukan para pelanggannya. Proses itu membuatnya mampu menjual karya seni dengan nilai yang mencapai belasan juta rupiah.

Dengan mengenakan kaus biru muda dan luaran lurik bernuansa hijau dan krem, Santoso duduk santai di lapaknya yang berada di sudut area Festival Kuno Kini. Lapaknya tak besar, hanya seluas 2x2 meter, berdampingan dengan panggung kecil yang saat itu sedang tak digunakan.

Lapak sederhana itu tertata rapi. Di dalamnya terdapat berbagai hasil karyanya, berupa sketsa dalam berbagai ukuran dan warna. Selain itu, sejumlah alat gambar disusun dalam sebuah kotak panjang yang menjadi teman setianya saat berkarya.

“Saya sudah dari tadi pagi, sekitar jam sebelas, dan rencananya tetap di sini sampai jam sepuluh malam,” ujarnya, sambil melayani pembeli yang datang silih berganti.

Mereka yang menghampiri adalah pengunjung festival yang tertarik untuk melihat—dan bahkan memesan—lukisan sketsa wajah mereka langsung dari tangan sang seniman.

Santoso memang dikenal sebagai salah satu seniman multitalenta dari Kediri. Tak hanya ahli dalam menggambar sketsa, dia juga piawai membuat relief dan memahat patung. Dunia seni telah menjadi jalur hidup yang ia tempuh sejak lama, dan dijalaninya dengan sepenuh hati.

“Usaha ini saya rintis sejak tahun 2005. Kalau dihitung, sudah dua dekade saya menekuni dunia sketsa,” tutur pria yang kini menetap di Kelurahan Tamanan, Kecamatan Mojoroto itu.

Santoso tumbuh sebagai anak yatim piatu. Ia mengaku tak tahu apakah bakat seninya berasal dari orang tuanya, karena mereka telah meninggal saat ia masih kecil. Namun, ia percaya bahwa kemampuannya terbentuk berkat kemauan dan latihan mandiri.

“Sejak kecil sudah ditinggal orang tua. Jadi saya tidak tahu apakah ada darah seni. Tapi saya belajar semuanya secara otodidak,” ujarnya, dengan suara yang sempat terdengar berat dan ekspresi wajah yang menyiratkan kenangan pahit masa lalu.

Minatnya pada dunia seni mulai tumbuh saat duduk di bangku SMP. Ia memilih mengikuti kegiatan menggambar sebagai ekstrakurikuler. Sejak saat itu, kecintaan terhadap dunia seni semakin menguat, dan menggambar menjadi bagian dari hidupnya.

Ketika lulus SMA, Santoso langsung terjun ke dunia seni secara lebih serius. Ia bergabung dengan komunitas seniman lokal dan mulai membuka jasa menggambar sketsa. Belajar secara otodidak menjadi jalur utama pengembangan dirinya karena ia belum memiliki kesempatan untuk menempuh pendidikan seni secara formal.

Kini, Santoso kerap menawarkan jasa sketsa di berbagai acara dan pameran. Selain itu, ia juga menerima pesanan dari rekan sesama seniman. Walau menggambar sketsa bukan penghasilan utamanya, ia tetap menekuninya dengan sepenuh hati. Pendapatan utama Santoso berasal dari proyek pembuatan relief dan patung.

“Untuk patung, saya biasa menerima pesanan dari wilayah Surabaya. Kebanyakan berupa patung tokoh Kristiani seperti Yesus dan Bunda Maria,” jelasnya.

Meski hanya menjadi pekerjaan sampingan, karya sketsa Santoso sudah menjangkau hingga luar Jawa Timur, bahkan ke daerah barat Pulau Jawa. Beberapa karyanya dihargai hingga belasan juta rupiah.

“Kalau yang harganya Rp15 juta itu biasanya ukuran besar, sekitar 150 x 150 sentimeter. Dengan tingkat kesulitan tinggi, wajar kalau harganya seperti itu,” ungkapnya.

Namun, tidak semua karyanya mahal. Ia juga menyediakan sketsa sederhana hitam putih berukuran A4 dengan harga mulai Rp10 ribu. Semua tergantung permintaan pelanggan.

Dalam sehari, ia rata-rata menyelesaikan lima karya. Jumlah yang terbilang sedikit, tapi hal itu sengaja dilakukan untuk menjaga kualitas hasil yang diberikan kepada pelanggan.

“Seni itu nggak bisa dikerjakan tergesa-gesa. Harus dalam kondisi pikiran yang tenang agar ide bisa mengalir ke atas kertas,” tegasnya.

Untuk mencari inspirasi, Santoso juga memanfaatkan kemajuan teknologi. Ia sering menjelajah situs dan aplikasi seperti Pinterest dan Google sebelum memulai karya.

Selama dua dekade berkarya, tentu sudah banyak lika-liku yang dialaminya. Dari kesulitan teknis hingga menghadapi keluhan pelanggan.

“Komplain itu sering. Tapi saya jadikan bahan evaluasi. Namanya karya seni, wajar jika ada koreksi. Justru itu penyemangat untuk terus berkembang,” pungkasnya sambil tersenyum, sembari mengakui bahwa menggambar perspektif bangunan adalah tantangan tersendiri baginya.(red.a)

0 Comments:

Post a Comment