Jakarta, iniberita.my.id – Target investasi Indonesia pada tahun 2024 mengalami pukulan telak. Nilai fantastis mencapai Rp1.500 triliun gagal terealisasi. Pemerintah pun dihadapkan pada sorotan tajam terkait iklim usaha yang belum kondusif.
Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi, Todotua Pasaribu, mengungkap sejumlah hambatan yang mengganjal masuknya investasi besar ke Tanah Air. Menurutnya, perizinan yang rumit, tumpang tindih regulasi, serta minimnya kepastian hukum menjadi akar masalah utama.
“Hal-hal seperti perizinan yang rumit, iklim investasi yang belum optimal, dan kebijakan yang saling tumpang tindih harus menjadi refleksi serius bagi kita semua,” ujarnya dalam sebuah forum resmi, Kamis (3/7), dikutip dari Antara.
Todotua menambahkan, pihaknya telah merancang sejumlah kebijakan korektif, namun penyempurnaan memerlukan masukan dari berbagai pihak terkait.
Omnibus Law: Solusi yang Berbalik Jadi Masalah
Salah satu instrumen yang digadang-gadang sebagai pemikat investor adalah UU Cipta Kerja (Omnibus Law). Undang-undang tersebut diharapkan menyederhanakan izin usaha dan merangsang investasi.
Namun nyatanya, implementasinya tidak mulus. Mahkamah Konstitusi bahkan sempat menyatakan beleid ini inkonstitusional bersyarat pada 2021 karena cacat dalam proses pembuatannya. Revisi dilakukan, namun kepercayaan investor sudah terlanjur goyah.
“UU Cipta Kerja awalnya ingin menyederhanakan aturan, tapi malah menciptakan ketidakpastian baru,” kata Yusuf Rendy Manilet, peneliti dari CORE Indonesia. Ia menyebut polemik hukum itu membuat investor ragu untuk masuk.
Senada, Syafruddin Karimi, ekonom dari Universitas Andalas, menyoroti lemahnya fondasi hukum yang ditawarkan UU tersebut. “Ketika landasan hukumnya dipertanyakan secara konstitusional, tentu risikonya tidak bisa diabaikan oleh investor jangka panjang,” tegasnya.
Pungli Menggerogoti Dunia Usaha
Tak hanya soal regulasi, praktik pungutan liar (pungli) juga disebut sebagai momok utama yang menakutkan pengusaha, terutama di daerah.
Padahal, Presiden Jokowi sempat membentuk Satgas Saber Pungli pada 2016 lewat Perpres No. 87/2016. Sayangnya, dampaknya dianggap minim. Bahkan, praktik pungli justru menyeret nama Ketua Kadin Cilegon, Muhammad Salim, dalam kasus pemaksaan proyek senilai Rp5 triliun.
Akhirnya, Presiden Prabowo Subianto memutuskan untuk mencabut keberadaan Satgas Saber Pungli melalui Perpres No. 49 Tahun 2025, dengan alasan efektivitas yang rendah.
OSS: Sistem Digital, Masalahnya Tetap Manual
Sistem Online Single Submission (OSS), yang diperkenalkan sejak 2018, awalnya diharapkan mampu memangkas jalur birokrasi dan mempercepat perizinan.
Namun, hasilnya belum signifikan. Menurut Syafruddin Karimi, OSS belum mampu menjawab tantangan mendasar di lapangan.
“Digitalisasi tanpa reformasi struktur justru menjadi ilusi. OSS akan gagal bila tidak diiringi dengan integrasi lembaga dan perubahan kultur birokrasi,” ujarnya.
Menurutnya, OSS adalah platform canggih yang tersandera oleh mentalitas lama. Ia mendorong adanya reformasi total dalam tata kelola izin usaha, bukan sekadar berpindah dari kertas ke layar.
Evaluasi Menyeluruh Diperlukan
Gagalnya realisasi investasi triliunan rupiah ini menjadi alarm keras bagi pemerintahan baru. Para pengamat menilai, jika Indonesia ingin tetap kompetitif di kancah global, maka reformasi iklim investasi harus dilakukan menyeluruh — dari hukum, kelembagaan, hingga moral aparatur.
“Investor tidak hanya butuh insentif, tapi juga kepastian dan kejelasan dalam menjalankan usahanya,” pungkas Yusuf Rendy.(red.al)

0 Comments:
Post a Comment