iniberita.my.id –Pernah menjadi raksasa tekstil yang berjaya di pasar internasional, PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) kini tinggal cerita. Perusahaan yang telah berdiri selama hampir enam dekade itu resmi dinyatakan pailit, meninggalkan tanda tanya besar di benak publik dan pengamat bisnis: bagaimana bisa perusahaan sebesar itu tumbang?
Kisah kejatuhan Sritex bukan hanya soal neraca keuangan atau pasar yang lesu. Lebih dari itu, ini adalah soal ketidakjelasan strategi inti dalam menjalankan roda bisnis. Belum tuntas babak pailitnya, kini Sritex juga tersandung masalah hukum. Pada Senin (10/6/2025), Direktur Utamanya diperiksa oleh Kejaksaan Agung RI sebagai saksi dalam kasus dugaan penyimpangan pemberian kredit dari dua bank daerah kepada perusahaan tersebut dan anak usahanya.
Jika ditelusuri lebih dalam, kegagalan Sritex bisa dikaji dari sisi strategi pemasaran yang lemah arah. Dalam buku “The Discipline of Market Leaders” karya Michael Treacy dan Fred Wiersema, disebutkan bahwa perusahaan sukses selalu memilih satu jalur dominan dari tiga pendekatan utama: keunggulan operasional (operational excellence), kepemimpinan produk (product leadership), atau kedekatan dengan pelanggan (customer intimacy).
Menurut teori ini, perusahaan tidak bisa menekankan ketiga aspek sekaligus secara seimbang. Mereka harus memilih satu disiplin utama sebagai keunggulan kompetitif, sementara dua lainnya cukup dijaga agar tidak tertinggal.
Lalu, bagaimana posisi Sritex?
Sayangnya, Sritex gagal menonjol dalam ketiga disiplin tersebut. Produk-produknya bersifat umum, didominasi tekstil dasar seperti seragam militer, tanpa diferensiasi yang jelas di tengah persaingan industri tekstil global. Inovasi produk minim, dan strategi hubungan dengan konsumen juga kurang terlihat. Ini menjadikan Sritex mudah tergeser oleh pesaing dari negara seperti Vietnam, Bangladesh, dan China, yang memiliki struktur biaya produksi jauh lebih murah.
Di sisi lain, ketergantungan tinggi terhadap pasar ekspor seperti Amerika Serikat dan Eropa membuat Sritex sangat rentan terhadap gejolak eksternal: mulai dari proteksionisme dagang, krisis global, hingga pandemi Covid-19.
Pengamat bisnis menilai bahwa Sritex terlalu fokus pada produksi massal dan efisiensi, tanpa membangun nilai tambah dari sisi inovasi maupun loyalitas pelanggan. “Mereka tidak menanamkan karakter kuat pada produknya, dan tidak memilih arah strategi yang jelas. Akibatnya, saat badai datang, tidak ada pijakan yang kokoh untuk bertahan,” ujar seorang dosen pemasaran dari Universitas Negeri Malang.
Kini, perusahaan yang dulu dielu-elukan karena berhasil menembus pasar global justru menjadi contoh nyata bahwa ketidaktegasan dalam memilih strategi bisnis bisa berujung fatal.
Kasus ini juga memperlihatkan bahwa pengelolaan keuangan dan tata kelola perusahaan harus berjalan seiring dengan strategi pemasaran yang jitu. Tanpa keunggulan yang jelas, sebesar apa pun perusahaan, tetap bisa terjungkal.
Refleksi Bisnis dari Runtuhnya Sritex:
Pilih strategi utama yang paling cocok dengan kekuatan perusahaan.
Jangan terpaku hanya pada volume produksi, tetapi bangun nilai tambah yang kuat.
Bangun relasi jangka panjang dengan pelanggan, bukan sekadar transaksi.
Jangan abaikan pentingnya diversifikasi pasar dan ketahanan terhadap guncangan eksternal.
Patuhi prinsip tata kelola yang bersih dan transparan agar bisnis tidak hanya besar, tapi juga bertahan lama.
Apakah perusahaan Anda sudah memilih arah strategi yang jelas? Atau justru masih ingin menjadi “semua hal untuk semua orang” seperti yang dilakukan Sritex? Kisah ini adalah alarm bagi siapa pun yang ingin bertahan di tengah persaingan ekonomi global yang makin dinamis dan keras.(red.a)

0 Comments:
Post a Comment