iniberita.my.id-Anjasmoro, Kelurahan Bujel, Kecamatan Mojoroto. Di tempat itu, para warga berkumpul sejak pagi, tak sekadar untuk membagikan daging kurban, tapi juga untuk mempertahankan tradisi sekaligus menjaga kelestarian lingkungan.
Di bawah rindangnya pepohonan, para pria terlihat cekatan memotong tulang dan memisahkan daging sapi hasil penyembelihan. Sementara kaum ibu dengan cermat menimbang daging dan menyerahkannya kepada kelompok yang bertugas membungkus dengan daun jati dan besek bambu—bukan plastik sekali pakai.
Kegiatan tersebut merupakan bagian dari kegiatan tahunan Yayasan Hijau Daun Mandiri, yang sejak lebih dari satu dekade konsisten menggunakan bahan ramah lingkungan untuk membungkus daging kurban. “Ini sudah menjadi warisan turun-temurun dari leluhur kami. Setiap tahun, kami selalu menggunakan daun jati atau besek bambu,” ujar Miftah Dwi Putri Maulidiyah, salah satu panitia kurban dan penggerak kegiatan.
Miftah, mahasiswi Universitas Nusantara PGRI Kediri itu, menjelaskan bahwa penggunaan daun jati tidak hanya menjaga kualitas daging, tapi juga sebagai bagian dari edukasi lingkungan. “Daging tetap segar lebih lama, tidak cepat berubah warna, dan tidak bau. Selain itu, kita juga tidak menambah beban sampah plastik ke bumi ini,” tegasnya.
Menurutnya, momentum Hari Raya Idul Adha seperti ini menjadi kesempatan emas untuk memperkenalkan alternatif pembungkus alami yang lebih sehat dan lestari. Ia juga menambahkan, beberapa paket daging tidak hanya dibagikan ke warga sekitar, tapi juga dikirim ke desa-desa di lereng Gunung Wilis, seperti Dusun Tengger, Desa Ngetos, Kabupaten Nganjuk.
Menariknya, bahan pembungkus berupa daun jati ini mereka panen dari kebun sendiri. “Di belakang rumah ini ada kebun kecil dan cukup banyak pohon jati. Jadi, semua kebutuhan pembungkus kami ambil sendiri, tanpa harus beli,” tambahnya sambil tersenyum.
Endang Pertiwi, Ketua Yayasan Hijau Daun Mandiri sekaligus pemilik rumah tempat kegiatan berlangsung, mengungkapkan bahwa tradisi menggunakan daun jati telah mereka jalani sejak tahun 2011. Ia pun menyayangkan masih banyak masyarakat yang belum terbiasa atau bahkan heran saat menerima daging dalam kemasan alami.
“Kadang ada yang bilang, ‘loh, kok nggak pakai plastik?’ Padahal justru daun jati lebih aman. Senyawa alaminya bisa membantu penggumpalan darah pada daging, membuatnya tidak cepat busuk,” terang Endang.
Namun, lambat laun pendekatan ini mulai diterima masyarakat. Luluk Puji Rahayu, warga Kelurahan Bujel, mengaku senang menerima daging kurban dalam balutan daun jati. “Lebih awet dan tidak bau. Sampai malam dagingnya masih segar. Saya harap tradisi seperti ini bisa dicontoh di tempat lain,” tuturnya.
Dengan kombinasi nilai tradisional dan semangat menjaga lingkungan, aksi sederhana ini menjadi teladan bagaimana masyarakat bisa mengambil peran aktif dalam menciptakan kehidupan yang lebih hijau—tanpa harus meninggalkan nilai-nilai warisan budaya.(RED.A)

0 Comments:
Post a Comment