KEDIRI, iniberita.my.id - Peningkatan suhu global yang melampaui ambang batas 1,5 derajat Celsius pada tahun 2024 menjadi peringatan serius bagi umat manusia. Fenomena ini mengindikasikan bahwa kondisi Bumi sedang mengalami krisis yang tidak bisa diabaikan. Salah satu dampak yang paling terasa adalah perubahan iklim ekstrem yang memicu ketidakstabilan cuaca di berbagai wilayah.
Satria Kridha Nugraha, Ketua Tim Kerja Meteorologi Publik BMKG Stasiun Meteorologi Kelas III Dhoho Kediri, menyampaikan bahwa ketidaknormalan iklim ini dipicu oleh hadirnya fenomena La Niña dan El Niño secara bergantian tanpa jeda. "Hal ini membuat pola cuaca menjadi tidak seperti biasanya," ujar Satria saat berbicara dalam diskusi yang digelar oleh Jawa Pos Radar Kediri, Senin (30/6).
Jika sebelumnya fenomena La Niña dan El Niño hanya muncul setiap beberapa tahun, sejak 2020 keduanya muncul nyaris tanpa selang waktu. La Niña berlangsung dari 2020 hingga 2022, lalu digantikan El Niño pada 2023, dan kembali terjadi La Niña di tahun 2024. “Secara teori, biasanya ada jeda sekitar tiga tahun,” jelasnya.
Situasi ini dinilai tidak hanya mengkhawatirkan, tetapi juga membawa potensi bahaya. Salah satu contoh nyata adalah maraknya bencana alam sepanjang 2024. Mulai dari banjir, tanah longsor, hingga angin kencang yang menyebabkan kerusakan rumah warga dan tumbangnya pohon-pohon besar. Hujan deras yang disertai hembusan angin kuat memperparah dampak bencana.
Kemungkinan terjadinya bencana serupa masih terbuka lebar, khususnya di wilayah-wilayah rawan seperti dataran tinggi yang rentan longsor dan daerah aliran sungai yang berisiko banjir. Bahkan, dalam jangka panjang, kondisi ini dapat memengaruhi keselamatan penerbangan.
Terkait hal itu, General Manager Angkasa Pura I, I Nyoman Noer Rohim, menyatakan bahwa hingga kini belum ada dampak signifikan terhadap penerbangan. "Penerbangan masih berlangsung lancar," ungkapnya. Namun ia menambahkan, jika terjadi kondisi cuaca ekstrem seperti angin kencang, pihaknya akan segera berkoordinasi dengan BMKG untuk mencegah risiko turbulensi.
Sebelumnya, para ahli menyebut bahwa perubahan iklim global telah berlangsung sejak usainya Perang Dunia II. Kenaikan suhu bumi tidak lepas dari pengaruh revolusi industri yang menyebabkan peningkatan emisi karbon secara drastis. Karbon yang terperangkap di atmosfer menghambat pelepasan panas dari Bumi, sehingga suhu terus naik. Jika tidak segera diatasi, para ilmuwan memperkirakan suhu bumi akan meningkat lagi hingga 1,3 derajat atau lebih pada tahun 2050.|(RED.AL)

0 Comments:
Post a Comment