Skandal Ayam Goreng Widuran Solo: Produk Nonhalal Dijual Tanpa Label, Bisa Terancam Pidana dan Gugatan Konsumen

 


SOLO,   iniberita.my.id– Salah satu rumah makan legendaris di Kota Bengawan, Ayam Goreng Widuran, tengah diterpa gelombang kecaman usai terungkapnya penggunaan bahan tidak halal dalam proses produksi tanpa adanya transparansi kepada konsumen. Kasus ini membuka ruang kemungkinan pelanggaran terhadap Undang-Undang Perlindungan Konsumen serta regulasi jaminan produk halal.

Informasi awal muncul dari pengakuan karyawan yang menyatakan bahwa bagian kremesan dari menu ayam goreng menggunakan minyak berbahan dasar babi. Hal tersebut turut dikonfirmasi melalui pemberitaan berbagai media nasional. Manajemen restoran juga telah menyampaikan permintaan maaf dan mengganti seluruh spanduk dengan keterangan "nonhalal", menghapus frasa "halal" yang sebelumnya terpampang di semua outlet mereka.

Pengakuan itu, menurut hukum Indonesia, dapat menjadi alat bukti sah dalam persidangan. Dalam perkara hukum perdata, Pasal 164 HIR menyebutkan bahwa pengakuan pihak tergugat merupakan satu dari lima alat bukti. Sementara dalam hukum pidana, pengakuan harus diperkuat oleh alat bukti lain, seperti hasil laboratorium, keterangan ahli, atau dokumen pendukung.

Dari aspek hukum, restoran tersebut berpotensi dikenai sanksi berdasarkan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pasal 4 huruf a dan c menegaskan bahwa konsumen berhak memperoleh informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai produk yang dikonsumsi serta perlindungan terhadap keamanan dan keselamatan.

Dalam konteks ini, tidak adanya informasi mengenai penggunaan minyak babi jelas merupakan tindakan menyesatkan. Hal ini dapat digolongkan sebagai tindakan curang (fraud) sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 10 UUPK. Ancaman hukum bagi pelanggaran tersebut diatur dalam Pasal 62 UUPK, yang mencantumkan pidana penjara maksimal lima tahun atau denda hingga Rp2 miliar.

Selain itu, UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH) juga memberi dasar hukum untuk menjerat pelaku usaha makanan yang tidak memenuhi standar halal. Pasal 4 UU JPH mewajibkan seluruh produk yang beredar di Indonesia untuk bersertifikat halal. Adapun jika produk belum tersertifikasi halal, maka label "tidak halal" harus dicantumkan secara jelas, sebagaimana diatur dalam PP No. 31 Tahun 2019.

Menurut laporan yang beredar, rumah makan tersebut tidak pernah mengajukan sertifikasi halal, namun tetap mencantumkan klaim halal pada spanduk dan promosi. Ini berpotensi melanggar Pasal 135 PP No. 31 Tahun 2019, yang mewajibkan pelaku usaha memberi peringatan jika produknya belum bersertifikasi halal.

Pakar hukum konsumen menyebut, skandal ini bisa membawa konsekuensi hukum yang luas, mulai dari sanksi administratif, pencabutan izin usaha, hingga tuntutan perdata oleh konsumen yang merasa dirugikan, baik secara material maupun spiritual. Hal ini menjadi semakin penting mengingat pelaku usaha dalam sektor makanan tergolong risiko tinggi, khususnya jika berkaitan dengan keyakinan agama masyarakat.

Lebih lanjut, UU Cipta Kerja No. 6 Tahun 2023, sebagai amandemen dari berbagai regulasi sebelumnya, justru memperkuat kewajiban pelaku usaha untuk menjalankan standarisasi perizinan dan jaminan mutu, termasuk untuk aspek halal. Tidak terpenuhinya aspek ini dapat menjadi dasar hukum bagi pemerintah untuk melakukan tindakan tegas.

Pakar menilai bahwa kasus ini tidak sekadar soal pelanggaran administratif, melainkan juga pelanggaran etika bisnis dan kepercayaan publik. Kejujuran dalam penyajian informasi bagi konsumen merupakan prinsip dasar dari tanggung jawab usaha di sektor pangan, terlebih di negara dengan mayoritas penduduk muslim.

Beberapa contoh yurisprudensi terdahulu menunjukkan bahwa kasus serupa bisa berujung ke meja hijau. Mulai dari kasus First Travel (2017), gugatan terhadap AirAsia (2015), hingga kasus gagal bayar Jiwasraya, seluruhnya menegaskan peran pengadilan dalam menegakkan hak-hak konsumen yang dilanggar.

Apakah kasus ini akan berlanjut hingga ranah peradilan? Hingga saat ini, publik masih menantikan langkah lanjutan dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), Kementerian Agama, dan lembaga terkait lainnya. Seruan dari organisasi seperti PP Muhammadiyah menambah tekanan agar kasus ini diproses secara adil dan transparan.

Kesimpulan:
Skandal Ayam Goreng Widuran bukan hanya membuka mata masyarakat tentang pentingnya kehalalan produk, namun juga menjadi pengingat bahwa pelaku usaha wajib tunduk pada aturan hukum dan moral bisnis. Pelanggaran terhadap konsumen bukanlah perkara sepele — dampaknya bukan hanya soal denda dan hukuman, tapi juga hilangnya kepercayaan publik yang dibangun selama puluhan tahun.(red.a)

0 Comments:

Post a Comment